Kisahromantis tentang kenang terindah bersama mantan kekasih adalah cerita mini atau cermin yang menceritakan prihal kehidupan saat-saat bersama pujaan hati di desa tapi karena tak ada
Jika kau bertanya, adakah yang lebih purba dari kenangan? Maka akan kujawab dengan ceritaku ini. Semenjak perkelahian itu, aku dan ia tiada pernah saling menyapa. Hatiku serupa batu yang paling purba dan tak dapat dikerat dengan alat apa pun. Apalagi dihancurkan. Aku membencinya setengah mati. Bagaikan tiada lagi ungkapan tentang kebencian yang dapat mewakili. Jika bukan lantaran berebut remote televisi, kebencian itu tidak akan sebesar gunung batu yang maha barangkali. Sebuah kebencian yang hanya menjadi kenangan hingga kini. Sebuah kata yang kelak kuanggap lebih purba dari kehidupan itu sendiri. Ia adalah kakak lelakiku yang menyulut kebencian itu. Umurku enam belas waktu itu, sedang kakakku lebih tua enam tahun dari usiaku. Dan menonton televisi adalah kebiasaan yang kulakukan saban sore sembari menunggu magrib di ruang tamu. Entah lantaran apa, aku tak tahu. Tiba-tiba ia merebut remote televisi yang sedang kupegang dan menghantamkannya tepat mengenai jidatku. Aku terkejut dan sebentar kaku. Darah pun mengucur perlahan merembes ke ujung hidungku. Segar dan amis menyatu. Aku bereaksi segera, meski nyaliku sempat menciut ketika melihat matanya yang nyalang. Kuarahkan tinju kuat-kuat ke arahnya, namun ia semakin jalang. Kuarahkan tinju kedua, ia semakin garang. Ia menendang. Tak sanggup diriku lari tunggang-langgang. Semakin aku berontak, semakin kuat tendangannya menghadang. Aku lekang dan remote itu pun terberai tak kepalang. Barangkali juga bukan salahnya ketika menghajarku hingga babak-belur. Dari cerita ibu, sebelum pulang, kakak lelakiku memang sudah mabuk sehingga pandangannya kabur. Bau alkohol tercium dari mulutnya dan kedua tangannya bergetar seperti tersengat listrik. ”Mungkin teman-temannya usai mencekokinya dengan air iblis atau sejenis cukrik.” Aku mendengar ibu sesenggukan, menahan memar di kepalanya yang diciptakan kakak lelakiku itu, lantas mengompresnya dengan batu es. Ibu juga membersihkan wajahku yang penuh darah dan hampir kering. Tangannya menyeka luka bekas lemparan remote televisi dengan kapas yang telah dilumuri Revanol lantas menutup luka itu dengan kasa yang sebelumnya telah diolesi obat merah. Aku sesenggukan menahan sakit yang merajam. Kakakku tenang usai para tetangga berdatangan, lantas mendekap erat-erat tubuhnya yang kuat-liat bagai karang. Lalu peristiwa itu pun jadi perbincangan. Kenangan itu masih menggelayut dalam pikiranku, meski puluhan tahun berlalu. Pada sebuah pagi keseribu sembilan ratus lima puluh satu, pagi pertama usai perkelahian itu, aku masih mengenangnya dan tetap ingin meninjunya tepat mengenai jidatnya dan berluka seperti luka yang kumiliki di jidat. Luka yang telah bersih diseka ibu. Luka yang ia ulangi lagi pada ibu … Di hadapan pusaranya kini, kenangan itu masih purba. Kenangan dan Kesedihan Semestinya kau tak perlu bersedih hati akan hal itu. Kau tahu, bukankah kesedihan senantiasa mengiringi setiap perempuan? Kesedihan adalah ketika kau memandang foto saudara kandungmu tengah terbaring dengan infus dan oksigen membekap mulutnya. Foto yang dikirim temanmu melalui BlackBerry Messenger dan kau tak dapat menjenguknya lantaran ia dirawat di rumah sakit yang jauh dari jangkauanmu, di luar negeri, misalnya. Bukankah Hawa tercipta dari kesedihan Adam lantaran tinggal seorang diri di surga? Aku tentu tahu, bagaimana perasaanmu akan hal itu. Waktu itu memang tiada yang menduga langit akan turun hujan dan kilat saling bersahutan. Segerombolan burung terik yang terbang seolah tahu diri bahwa cuaca sedang tidak berkawan. Segalanya gelap, hitam, begitu pula dengan wajahmu. Di sana, kudapati kemuraman berabad-abad bagaikan tiada lagi cahaya datang menelusup pori-pori wajahmu. Kusangkakan, itulah yang bernama kesedihan. Aku berada di sana waktu itu. Kau memeluk lutut seperti menahan dingin udara yang membelenggu di kala malam. Tiada percakapan. Aku pun tak mau memulainya. Wajahmu tertekuk hingga hampir mencium tanah. Adakah yang mampu memahami kesedihanmu selain dirimu sendiri? Aku masih mengingat, beberapa tahun yang lewat, ketika burung-burung terik sepakat menunaikan ibadahnya di bumi timur, ketika senja masih menguning-langsat sebelum magrib, tatkala waktu belum sepenuhnya punah, kau juga menggigil tinggi sembari memelukku erat menghangatkan tubuhmu yang dingin-beku serupa balok es. Bukan lantaran hujan yang turun tiada henti sedari kemarin. Atau karena kutub utara yang pindah ke rumahmu. Kau takut pada cerita tentang Izah yang memeluk lututnya di haribaan pusara Sunan Ampel. Ia takut pada ibu, mengapa menghilang berbulan-bulan tanpa satu kabar jua? Mengapa pula ia melarikan diri dari studinya yang belum usai? Dan, mengapa ia merahasiakan kandungannya dan merawat bayi yang lahir tanpa ayah itu di makam sang wali? Bukankah kau juga ingin melihat keponakanmu yang mungil itu? Bukankah ia tak bersalah karena mengandung di luar nikah? Apakah Ela juga bersalah lantaran lahir di luar nikah tanpa pernah tahu wajah ayahnya? Kita tak pernah membicarakan dan mengingatnya beberapa tahun belakangan. Kupikir kita terlalu sibuk membicarakan burung terik yang mulai punah dan senja yang kian melegam. Dan memang aku sengaja menyibukkanmu dengan cerita-cerita fiksi karanganku. Dengan begitu, kau tak perlu lagi mengenal kesedihan. Asap Kenangan dan Luka Jika bukan lantaran tawa menyedihkan sepuluh tahun yang lalu, barangkali ia tidak akan kembali ke kampung yang membesarkannya. Juga kepada anaknya. Miftah hanya tahu, bahwa dengan kembali ke rumah, ia dapat menyembuhkan luka-luka yang tersayat di masa lalu. Saat di mana lelaki itu datang mengawininya kemudian meninggalkannya ketika umur kandungannya berumur delapan bulan. Dengan melihat sawah-sawah dipenuhi rumpun jagung yang berjajar rapi dan hijau perdu suket gajah, tentu tawa menyedihkan itu takkan muncul sedemikian rupa bagai penyakit yang muncul tiba-tiba; sehingga napasnya kembali bersih, paru-parunya juga bersih. Sebab belakangan ini ia sering menghabiskan dua bungkus rokok mild per hari. Alasannya, ia ingin kenangan itu terbang jauh ke langit bersama asap yang ia embuskan. Kau tentu hafal akan “Sajak Seonggok Jagung” milik paman Rendra. Sajak yang kau taksir lantaran ia melihat seonggok jagung yang tergeletak di kamar anak lelakinya. Kau lebih tahu isi sajak itu ketimbang Miftah yang hanya khidmat pada tanaman bertangkai tunggal dan berakar serabut itu dan hanya lulusan sekolah dasar. Saban pagi-pagi buta, Miftah berkeliling sawah di jalan setapak-beraspal itu. Di kiri-kanan diselingi pohon-pohon mangga yang buahnya sering dihabiskan codot sebelum tiba masaknya. Kau tahu codot? Makhluk itu serupa kelelawar berukuran lebih kecil dan menyerupai tikus piaraan dan berwarna hitam. Makhluk itu sering menyisakan mangga yang tak habis dimakannya di pekarangan rumah. Maka, itulah ritual yang dilakukan Miftah semenjak sepuluh tahun terakhir sembari tertawa-tawa seorang diri. Arkian, Miftah hanya tahu, bagaimana ibunya bersusah-payah menenangkan dirinya ketika di siang bolong ia bertelanjang bulat tanpa sebab-musabab. Ketika para tetangga tengah beristirahat dan anak-anak kecil bermain pasaran sepulang sekolah, Miftah berteriak-teriak. Kampung gaduh, dan gang di mana rumahnya berada lantas banjir manusia. Para tetangga itu turut menyaksikan dan berupaya menenangkannya, sembari menabahkan hati ibunya yang sedari kecil merawatnya seorang diri. Tanpa sanak keluarga. Dan suami. Siang itu adalah mula tahun-tahun sesudahnya yang penuh keindahan-sunyi dan tawa-menyedihkan tak berkesudahan. Kau di sana waktu itu. Menyaksikan ibumu yang dianggap gila. Kenangan dan Percakapan di Bawah Kemarau Bukanlah suatu kesalahan jika kau mencintai seseorang berdasarkan rupa bentuknya. Tak perlu menyembunyikan hal itu. Aku juga tahu kau mencintainya karena ia cantik atau tampan, karena ia berkulit putih atau langsat, karena ia semampai atau tinggi. Aku pun mengerti. Tak perlulah kita berdebat atau bahkan beradu fisik akan definisi ini. Kau hanya perlu mengerti bahwa kesalahan sebenarnya adalah tatkala kau meninggalkan kekasihmu usai kau mencintainya. Begitulah cerita ini dimulai. Jika bukan lantaran mengingat kau penuh seluruh[1], tentu kau telah lama berlari menggapai bintang di langit lantas menjatuhkannya di atas mataku. Kau tentu ingin aku buta sehingga tak kudapati lagi rona yang terpancar dari wajahmu, bukan? Kau tahu, mencintaimu adalah hal paling menyedihkan yang pernah kuingat. Aku mesti rela hilang bentuk, remuk[2]. Bertahun-tahun memikirkan siasat tak masuk akal supaya kau paham bahwa menggapai cinta tidaklah semudah meneropong bintang lantas memberinya nama belakangmu. Maka, tak usahlah kita mengingat senja yang sendu, langit yang perdu, angin yang merdu itu, bila pertemuan pertama itu hanya jadi kenangan yang membelenggu. Bangku hijau-lumut dan daun-daun sengon itu cukuplah menjadi saksi bisu. Tentu kau berpikiran sama denganku di atas langit masih ada langit, di atas keindahan masih ada keindahan, di atas cinta masih ada cinta. Setidaknya, isyarat itu yang membuat bumi senantiasa berevolusi sebagaimana mestinya dan berotasi sesuai porosnya, sehingga masing-masing menciptakan waktu dan musim, seperti kau dan aku, agar kau memahami bahwa hidup sendiri tak kenal kompromi. Dulu, kita pernah menduga kemarau seperti hujan air langit berguguran lalu menggenang di tanah kering nan lapang. Adakala ia mencium rerumputan, seraya membasuh debu yang menempel di pucuk-pucuknya. Ia lengket. Sembari menunggu wedang jahe yang kau masak, kau membayangkan berguyuran di bawah hujan. “Aku masih bermimpi menumpang pelangi.” Pelangi pun tak selalu hadir bakda hujan. Ia mungkin sekumpulan malaikat, atau bidadari yang hikmat memuji anugerah langit, atau barangkali pula hanya antologi warna yang tujuh. “Kau terlalu banyak berpikir.” Aku pun diam. “Apabila kemarau ini usai, aku ingin menumpang pelangi itu, menuju ke Negeri Senja[3].” Aku masih diam. Sebelumnya, kau selalu bertanya, adakah yang lebih tabah, lebih bijak, lebih arif, dari hujan bulan Juni[4]? Aku hanya bertanya kembali, dalam hati tentu saja, bukankah hujan tak pernah turun di bulan Juni jika kita mengingat pelajaran IPA di sekolah dasar? “Nyatanya, bagaimanapun, tak ada yang lebih bijak, lebih tabah, lebih arif, dari hujan bulan Juni, bukan?” katamu memungkasi. Aku masih tetap diam. Kenangan, Cinta, dan Suami Kita menyukai kesendirian dan kesunyian. Seringkali kita membutuhkan ruang privasi menjauhkan diri dari keramaian dan kepalsuan. Kau tahu, Tuhan menciptakan kita dengan sifat Kesendirian-Nya, dan Ia menyisipi kita dengan sifat Keilahian-Nya. Lantas benarkah kau menunggunya, atau benarkah kau berharap ia seumpama Jibril yang menyampaikan kabar gembira? Kau perlu kesendirian dan kesunyian supaya kau dapat bersemayam dalam cerita-cerita yang kau karang. “Tidak. Menurutku, banyak hal yang mesti dikorbankan demi hal lain yang menurut kita lebih baik.” “Termasuk suamimu?” “Tentu.” “Itu saja?” “Ya. Itu saja. Tidak lebih. Apalagi lebih dari itu.” “Omong kosong.” “Setidaknya kau tak perlu bergurau tentang cinta. Bukankah setiap orang berhak atas cinta? Tiadakah kau rasakan keindahan tentang cinta melebihi segala yang kau punyai? Lantas, adakah yang lebih indah yang pernah diciptakan-Nya selain cinta?” “Ya. Aku mencintaimu sebagaimana suamimu mencintaimu.” Ya. Aku memang terobsesi mencintaimu sebagaimana isi sajak Sapardi yang sering kau gumamkan usai kita bercinta mencintai angin, harus menjadi siut, mencintai air, harus menjadi ricik, mencintai gunung, harus menjadi terjal, mencintai api harus menjadi jilat. mencintai cakrawala harus menebas jarak, mencintai-Mu, harus menjadi aku. Senja telah melegam cukup lama. Beberapa cerita telah khatam kita baca. Burung-burung terik juga telah lama menuju timur, mengkhidmati petang itu. Tiada yang tahu berapa lama lagi kita mesti menyelesaikan percakapan ini. Dalam diam, kita khusuk mendengar azan magrib. Kau tahu, tiada panggilan yang lebih indah selain panggilan-Nya. Kenangan dan Sakit Hanya ada kau dan aku dalam cerita ini. Kunang-kunang berubah ganih dan waktu berhenti pada menit kedua belas. Kata-kata menjadi gelap dan makna pun kekal dalam pekat. Kau tahu, cinta memekarkan rembulan, sedang gemintang berubah menjadi planet baru. Kau tahu, itu adalah amsal tentang riwayatmu dan cerita-certia yang tak kunjung usai kutulis. Mengapakah kau berharap lebih dari itu sementara aku menginginkan tak lebih dari itu, padahal telah kutemukan kembali namamu[5] dalam cerita ini? Tidakkah kau ingat, tatkala kau sakit, kau akan ingat ketika sehat. Langit-langit kamarmu laksana hamparan penyesalan dan tubuhmu bak terperangkap dalam jaring laba-laba raksasa[6]. Pada senja yang menyengat, kau hanya bisa roboh di atas dipan. Kau tak dapat menyaksikan gemerlap jingga-keemasannya lantas menumpanginya ke Negeri Senja[7]. Dan, pada sepertiga malam terakhir, kau hanya bisa terjaga seraya mendapati diri seorang diri. Kau tak dapat menyampaikan doamu padahal pada waktu istimewa itu Tuhan turun ke bumi dan mengabulkan segala doamu. Lantas, adakah perilaku-perilaku sebelumnya yang membuat tubuhmu harus terpapar di antara sakratul-maut, atau, adakah mimpi-visimu yang belum terwujud manakala kau berada dalam situasi seperti itu? Kau menggeleng. Takut aku berdusta. “Sakit adalah saat di mana dosa-dosa dikelupas-Nya dengan sederhana[8].” Kau mencoba menebak arah pikiranku lantaran tiada bersepakat dengan perkataanku. “Sakit adalah istirah agar kau mengingat-Nya lebih dari sekadar kau mengingat dirimu.” “Adakah yang lebih purba dari kenangan?” katamu. “Ada,” kataku. “Sakit tersembunyi lebih purba dari kenangan.” “Benarkah?” “Kau sakit. Baiknya kau undur diri.” [*] [1] Kutipan sajak “Doa” karya Chairil Anwar. [3] Tentang Negeri Senja dapat dibaca pada cerpen “Tujuan Negeri Senja” karya Seno Gumira Ajidarma, Kompas, Minggu, 8 November 1988 dan “Senja dan Cinta yang Berdarah” Penerbit Buku Kompas, 2014 622-629. [4] Berdasarkan sajak “Hujan Bulan Juni” 1989; Editum, 2012 89 karya Sapardi Djoko Damono, yang penulis rangkum dan ambil dari masing-masing larik pertamanya. Selengkapnya tak ada yang lebih tabah / dari hujan bulan juni / dirahasiakannya rintik rindunya / kepada pohon berbunga itu // tak ada yang lebih bijak / dari hujan bulan juni / dihapusnya jejak-jejak kakinya / yang ragu-ragu di jalan itu // tak ada yang lebih arif / dari hujan bulan juni / dibiarkannya yang tak terucapkan / diserap akar pohon bunga itu //. [5] Kutipan sajak “Dalam Lipatan Kain” karya Esha Tegar Putra Motion Publishing, 2015 93 [6] Kalimat ini terisnpirasi dari cerpen “Sarelgaz’” karya Sungging Raga Indie Book Corner, 2014 71-76. [8] Sajak “Aku Ingin” 1989; Editum, 2012 90 karya Sapardi Djoko Damono, yang dimulai dengan larik Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. M Firdaus Rahmatullah, lahir di Jombang. Menggemari sastra dan kopi. Menulis cerpen dan puisi dan tersebar di beberapa media massa. Alumni PP Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang dan PBSI STKIP PGRI Jombang. Kini, berkhidmat di SMAN 1 Panarukan, Situbondo. Bisa ditemui di twitter mufirra_ dan facebook mfirdausrahmatullah *Sumber gambarMiraharap dia juga bisa begitu. di pohon itu juga lah tertuang kenangan-kenangan manis Mira bersama Dika. jika Mira duduk di pohon itu, rasanya seperti ingin mengulang kembali kenangan itu dengannya. Sekarang aku harus belajar mengerti, bahwa selama ini perhatian yang Dika kasih ke aku itu hanya sebatas mantan dan hanya sebatas teman
7 Berkumpul bersama teman. Berkumpulah bersama teman-temanmu, mereka akan dengan senang hati secara tidak langsung membantu kalian melupakan dirinya. dan kalian akan sadar bahwa dibumi ini bukan hanya dia seorang yang berarti dalam hidup kalian, tetapi mereka juga begitu berarti mengisi hari-hari kalian. 8. Cari nuansa baru dalam hidup.QuoteIni hanya cerita ilusi saja, penggunaan nama tokoh hanya rekaan saja, tanpa ada maksud tertentu. Setahun lebih telah berlalu.... Asbar tampak kurang bergairah menjalani hidupnya setelah berpisah dengan Widi setahun yang lalu. Asbar berusaha tuk move on namun tampaknya sulit sekali baginya. Seolah-olah dia sedang berjalan di jalanan yang penuh pecahan kaca. Sakit dan membuatnya menangis saat harus berjalan menapak ke depan. Senyum dan hangatnya pelukan sang mantan sangat melekat di ingatannya. Seolah-olah menempel erat di relung otaknya. Kini sang mantan telah menikah dengan orang lain pilihan orang tuanya. Meninggalkan Asbar dengan kesendiriannya. Para sahabat Asbar terus menyemangati dia tuk segera move on dari sang mantan. Mencari pasangan yang tepat dan merestart rasa cintanya kembali. Asbar memang telah berusaha tuk move on namun teori memang tidak seindah prakteknya. Dia telah beberapa kali membuka hati tuk orang lain. Namun selalu gagal karena begitu besarnya rasa cintanya kepada Widi. Setiap dia bersama pasangannya yang baru, perasaan hatinya selalu membandingkannya dengan sikap, kelembutan dan perhatian Widi. Seolah-olah hanya Widi yang paling mengerti dan memahami segala apa yang di butuhkannya sebagai seorang kekasih dan pelengkap hidupnya. "Mengapa aku sulit melupakanmu Widi !!". "Aku sudah berusaha keras dan berlari kencang meninggalkan kenangan kita berdua !!". "Namun engkau selalu mampu mengejar kecepatan lariku dan melekat erat di pikiranku sulit kulepaskan !". "Aku juga bahagia melihat engkau bahagia, tiada kecemburuan yang begitu besar terhadap pasangan hidupmu yang sekarang !!". "Tapi....Tapi....Aku tak bisa bisa menjauh darimu, aku membutuhkannmu dalam menjalani hidup ini !". "Widi....oh Widi... You are adalah mantan terindah dan terbaikku..". "Aku ingin bersamamu hingga ujung waktu !". "Cintaku ini terlalu besar untukmu dan cintamu terlalu dalam mengisi relung jiwa dan pikiranku". Tangisan dan curahan hati Asbar pecah saat dia membaca surat perpisahan dari sang mantan. Surat yang membuat Asbar jatuh tak sadarkan diri setelah membacanya tuk pertama kali. Surat yang membuat jalan gelap yang harus dia jalani selama ini. Surat yang membuat Asbar merasa hidup di dunia ini semakin melelahkan. Dengan airmata dan tangan bergetar atas kesedihan hatinya. Asbar mencoba membaca surat itu kembali. Karena baginya, surat ini adalah kepingan jiwa Widi yang dia miliki sekarang ini. Dear Asbar cinta terindahku. Maapkan aku... Aku harus pergi dari sisimu dan meninggalkan semua yang terindah yang kita pernah rajut bersama. Orang tuaku memaksaku tuk menikah dengan pilihan mereka. Aku tidak ingin membuat mereka kecewa di usia senja mereka. Aku ingin membuat mereka bahagia di masa tua mereka. Aku ingin memberi mereka cucu yang lucu tuk menghibur mereka Hal tersebut yang tidak mungkin aku bisa berikan kepada mereka bila bersamamu. Bersamanya aku bisa mewujudkan itu semua. Asbar.... Aku memang sangat mencintaimu.. Namun rasa itu harus kubuang jauh mulai sekarang, karena kebahagiaan kedua orang tuaku hal yang paling penting saat ini di banding cinta kita. Aku berharap engkau bisa memaapkanku atas pilihanku ini. Tetap tegar sayangku Asbar. Mungkin di suatu tempat ada yang sedang menantimu, tuk datang memeluk dan memberi cinta terindah kepadanya. Aku....Aku....pamit dari hidup dan kisah cinta kita dengan derai airmata yang masih turun saat menuliskan surat ini. Asbar.....Asbar....Aku...... 01-06-2022 2213 sennaavia dan 10 lainnya memberi reputasiDiubah oleh simsol... 01-06-2022 2229
Jawabmama sambil tersenyum. “Ya mama, makasih”. Jawabku sambil menaruh gelas dimeja. Rapi-rapi pun telah selesai .Akhirnya 14 jam telah terlewati, dan sekarang jam menunjukkan angka 09.55 malam. 5 menit sebelum pesta dimulai, Nia sudah terlebih dahulu datang ke rumah ku. “Mudah-mudahan pestanya bisa menjadi kenangan indah buat kamu yaKata orang mantan terindah itu tidak ada. Karena jika dia memang yang terindah maka tak akan jadi mantan. Huh! Awalnya aku memang mempercayai kata-kata itu, tapi sepertinya itu tak berlaku sekarang. Kini yang aku percaya itu bahwa Rafa adalah mantan terindah. Jadi kronologinya begini. Setelah aku selesai makan malam, aku memutuskan untuk membuka akun Instagram milikku sebentar. Niatnya tadi aku hanya ingin melihat-lihat akun artis Thailand kesukaanku, tapi semuanya itu buyar akibat satu postingan mantan. Mantanku itu memposting foto pemandangan malam hari di sebuah kedai kopi terkenal. Jelas aku masih ingat sampai sekarang bahwa itu adalah tempat kami pertama kali bertemu dulu. Yang membuat postingan itu berbeda adalah caption yang dituliskannya pada foto itu. "I miss you so bad." Dengan memberanikan diri aku mencantumkan komentarku pada postingannya. Hanya emoticon senyum memang, tapi beberapa detik kemudian langsung muncul pemberitahuan bahwa dia menyukai komentarku. Tak berhenti sampai di situ, dia juga mengirimkan direct message padaku. Seketika itu aku menjerit dan aku diomeli ibu. Singkat cerita kami pun melanjutkan acara chattingan itu menjadi acara telponan. Bertukar kabar, menanyakan bagaimana kegiatan sehari-hari, perihal pekerjaan dan hal-hal random lainnya sampai kepada perasaan. Aku sebenarnya merasa risih akan pembahasan itu, tapi rasa penasaran ku lebih besar. "Jujur, sebenarnya aku masih belum rela kita berakhir." Hening. Aku tak membalas ucapannya. Rasanya lidahku kelu. "Maaf membuatmu risih. Tapi aku memang jujur, Na." Dia melanjutkan ucapannya. Aku mengangguk meskipun aku tahu dia tak melihatnya. "Iya." Hanya kata itu yang terucap dari bibirku. Hening-lagi. Aku melirik jam bergambar bendera Thailand di nakas. "Sudah malam banget, aku sepertinya sudah mengantuk." "Oh oke," ucapnya dari seberang sana. Tapi ucapan Rafa selanjutnya membuatku tak bisa berkata-kata. "Besok aku jemput ya, aku antar sampai kantor. Jangan lupa berdoa, selamat tidur." Telepon terputus. Rasanya aku seperti menang lotre, aku uring-uringan. Guling menjadi wujud kebahagiaan ku. Saking gemas dan bahagianya aku tak berhenti menjerit nggak jelas. Akhirnya ibu masuk ke kamar dan mengomeli ku. Ya Tuhan, aku bahagia sekali. Akankah aku mimpi indah malam ini? Ah, semoga saja. "Good night mantan terindah." *** With love, Vicachuuu . 301 248 137 380 244 450 215 437